CNN Indonesia
Kamis, 12 Jun 2025 13:46 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa eks Direktur Utama PT Pertamina Elia Massa Manik (EMM) sebagai saksi dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menyebut pemeriksaan terhadap EMM dilakukan penyidik pada Rabu (11/6) kemarin. Ia mengatakan saksi EMM dimintai keterangan terkait perannya sebagai Dirut Pertamina kala itu.
"Karena telah ada koordinasi dengan JPU dan penyidik, saksi yang dipanggil berkaitan dengan kapasitas dalam status jabatan yang bersangkutan terkait dengan perannya," ujarnya kepada wartawan di Kejagung, Kamis (12/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pemeriksaan terhadap Elia juga dilakukan untuk keperluan penyidik dalam memenuhi unsur-unsur pidana para tersangka dalam pemberkasan.
Harli menambahkan lima orang saksi lainnya turut diperiksa yakni DS selaku Karyawan PT Pertamina, NAL selaku Manager Treasury Settlement & Reporting PT Pertamina dan DDS selaku Sr. Manager Supply Planning PT Pertamina.
Kemudian JM selaku Authorized Agent/Finance Officer PT Marsh Indonesia (Asuransi Kapal) dan GI selaku VP Procurement PT Berau Coal periode 2017 sampai 2023.
"Pemeriksaan yang bersangkutan untuk memperkuat pembuktian yang dilakukan penyidik. Kita harapkan kasus ini segera bisa dilimpahkan ke penuntutan dan persidangan," katanya.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan sembilan orang tersangka yang terdiri dari enam pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satunya yakni Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Kejagung menyebut total kerugian kuasa negara dalam perkara korupsi ini mencapai Rp193,7 triliun. Rinciannya yakni kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kemudian kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.
Selain itu kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
(tfq/isn)