Walhi dkk Buka Suara soal Uji Formil UU Konservasi SDA Ditolak MK

6 hours ago 5

Jakarta, CNN Indonesia --

Tiga organisasi masyarakat sipil dan perwakilan Masyarakat Adat menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara nomor: 132/PUU-XXII/2024 yang menolak uji formil Undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) bisa menjadi preseden yang membuka keberlanjutan proses legislasi buruk ke depan.

Putusan MK tersebut pun dinilai semakin mengesampingkan suara kelompok rentan dan terdampak langsung, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal.

Tiga organisasi sipil itu terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koaliasi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tiga organisasi itu merupakan bagian dari pemohon uji formul UU KSDAHE, bersama dengan anggota masyarakat adat Ngkiong Manggarai di NTT, Mikael Ane.

Dalam pernyataannya, Walhi dkk menilai putusan MK itu paradoks, karena MK mengakui pembahasan Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE dilakukan tanpa partisipasi publik yang bermakna.

"Putusan Mahkamah Konstitusi ini memuat paradoks yang tergambar jelas di bagian pertimbangan, karena di satu sisi menolak tapi di sisi lain menyarankan pembentuk Undang-undang untuk memaksimalkan partisipasi dalam pembentukan perundang-undangan melalui teknologi informasi, sehingga terlihat jelas pertimbangan MK untuk menolak permohonan ini tidak solid dan cenderung ragu-ragu dalam memutus perkara," ujar Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI, Kamis (17/7).

Senada, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan putusan MK itu pada akhirnya menambah sejarah panjang pembentukan undang-undang yang mengabaikan asas keterbukaan dan keterlibatan publik ataupun tidak melibatkan partisipasi penuh, nyata dan bermakna (meaningful participation) dari masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup dan tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dia pun menyinggung pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim MK dalam putusan itu yakni pendapat berbeda dari Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra. Dalam dissenting opinion masing-masing yang dibacakan saat pembacaan putusan, baik Suhartoyo maupun Saldi sama-sama menilai seharusnya permohonan para pemohon dikabulkan atau setidaknya dikabulkan sebagian.

Dalam dissenting opinion, keduanya pun menyorot  pengabaian asas keterbukaan dan keterlibatan publik dalam mewujudkan prinsip meaningful participation terkait penyusunan UU KSDAHE.

"Seharusnya keadilan untuk seluruh masyarakat adat dan komunitas lokal untuk dilibatkan partisipasinya secara bermakna dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dijunjung tinggi oleh MK," tegas Susan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan ketiadaan partisipasi penuh dan efektif akan membuat UU KSDAHE kehilangan legitimasinya di hadapan masyarakat adat.

"Undang-undang ini boleh saja dianggap legal oleh para pengambil kebijakan dan Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan telah memenuhi syarat formil pembentukan perundang-undangan, tapi bagi kami, Masyarakat Adat, proses pembentukan UU KSDAHE serta putusan MK ini tidak mencerminkan partisipasi penuh dan efektif," ungkap Rukka.

"Hal ini sesuai dengan fakta persidangan yang menyebutkan dari 21 pembahasan hanya dua yang terbuka untuk umum. Itu pun masukan Masyarakat Adat dan masyarakat sipil tidak diakomodir. Dalam kacamata kami, Masyarakat Adat, UU KSDAHE ini legal but not legitimate," tambahnya.

Sebelumnya, MK menolak permohonan uji formil UU KSDAHE yang diajukan  tiga organisasi masyarakat sipil dan seorang perwakilan masyarakat adat, Mikael Ane, yang juga disebut korban kriminalisasi.

"Mengadili: Dalam provisi: Menolak permohonan provisi para pemohon," ujar Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam sidang, Gedung MK, Jakarta, Kamis (17/7).

"Dalam pokok permohonan: Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," sambungnya.

Putusan ini diwarnai dengan alasan berbeda atau concurring opinion dari Hakim Konstitusi Arsul Sani yang pada pokoknya sependapat untuk menolak permohonan, tetapi dengan alasan yang berbeda.

Selain itu, terdapat pula dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra yang menyimpulkan permohonan seharusnya dinyatakan beralasan menurut hukum, dan Mahkamah mengabulkan permohonan atau setidak-tidaknya mengabulkan untuk sebagian.

(ryn/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Kasus | | | |